Diambil dr tulisan ust. Harry Santosa
Saya sering dianggap menolak anak menghafal alQuran, padahal saya hanya ingin meletakkan sesuatu sesuai haknya dan sesuai fitrahnya.
- Mencintai alQuran lebih dahulu sebelum menghafal alQuran. Mendidik anak agar cinta alQuran tidak mudah, dan hafal alQuran tidak serta merta cinta alQuran apalagi jika metodenya salah dan tidak memperhatikan aspek fitrah perkembangan manusia.
Di Mesir orang orang sekuler dan liberal yang rajin menghujat Islam, adalah orang2 yg hafal alQuran. Di Zaman khulafaur Rasyidin, bahkan pembunuh sayidina Ali ra adalah seorang penghafal alQuran yang rajin berdzikir dan shalat malam (silahkan baca di http://asysyariah.com/manusia-paling-celaka-adalah-pembunuhmu-wahai-ali/) Kenapa demikian, karena keimanannya dan kecintaannya pada kebenaran tidak pernah menghunjam ke dalam sanubarinya, fitrah keimanannya tidak bangkit.
- Di usia 0-7 ada banyak hal penting selain menghafal alQuran, hal hal yang dialami oleh pendidikan Rasulullah saw ketika kecil, yaitu bahasa ibu yang utuh dan fasih, kelekatan pada ayahibu, bermain di alam utk imaji2 positifnya ttg kauniyah, mendaki bukit utk psikomotoriknya, kisah kisah kepahlawanan dari kearifan lokal, executive functioning dengan berternak atau berkebun dsbnya. Menghafal alQuran utk usia 0-7 dengan metode talaqi dan akan lebih berkesan mendalam apabila diinteraksikan dengan fitrah dan ayat Kauniyah (alam dan realitas sosial kehidupan sekitar).
Kelekatan ortu dengan anak juga sering dikorbankan krn ortu punya target anak anaknya hafal sehingga dititipkan pada lembaga sejak masih di bawah 10 tahun. Ini juga menjadi pemicu penyimpangan fitrah.
- Ada paradigma yang menurut saya aneh, bhw jika anak anak sudah “terisi” alQuran maka dia akan steril dari berbagai kemaksiatan dan tahan terpapar dari kenakalan. Terisi dan Terinspirasi makna secara sadar adalah dua hal berbeda. Banyak kasus, anak anak hafal alQuran sejak kecil kemudian melupakannya atau sekedar hafal tanpa amal atau malah membenci Islam. Jadi baik untuk menghafal, namun jangan lupa bahwa jumlah konten tidak selalu relevan dengan keshalihan.
Paradigma mengisi sebanyak banyaknya ini, saya lihat adalah reaksi dari kepanikan, berangkat dari kecurigaan berlebihan thd dunia luar sehingga anak harus dibentengi tinggi-tinggi, diantaranya dengan pengisian konten. Padahal konten tdk berdampak pd imunitas.
- Beberapa anak di bawah 7 tahun ada yg bisa menghafal alQuran dengan cepat, beberapa lainnya tidak. Masing-masing punya kecerdasan berbeda dan bakat berbeda. Anak autis bahkan bisa menghafal 1 halaman dalam beberapa detik.
Jadi ttg menghafal, jangan risau, apabila diperdengarkan (talaqi) alQuran setiap hari 30 menit saja oleh orangtuanya, sesungguhnya anak anak bisa dengan mudah menghafal.
Namun bukan itu intinya dan jangan melupakan intinya, bhw pendidikan adalah membangkitkan gairah fitrah keimanan kecintaan, spiritualisme, belajar dan berinovasi, beraktifitas sesuai bakat dstnya shg mencapai peran peradaban.
- Ulama dan cendekiawan Islam dahulu hidup dalam suasana dan atmosfir dari lingkungan yang alQuran menjadi keseharian dalam praktek kehidupan, dimana ortu nya berbahasa alQuran mereka hafal sejak anak anak krn suasana demikian. Tetapi fitrah mereka tumbuh sampai menjadi kemandirian dan peran peradaban di usia belasan tahun.
Karenanya kita jumpai mereka ada hafal alQuran namun spesialis di bidangnya dengan gairah belajar meluap luap. Hal ini tidak mungkin terjadi jika sejak anak anak sudah dipisah pisah antara fitrah, ayat Qouliyah dan ayat Kauniyah.