💚 *Cintai Keluarga Dengan Hati*
Menurut Ustadz Harry Santosa, Tazkiyatun nafs merupakan bahasa al-Quran untuk melakukan terapi secara alamiah dan fitriyah apa-apa yang menyebabkan diri berperilaku buruk.
Tiada cara yang baik dan mengakar kecuali memperbaiki jiwa sebelum memperbaiki fikiran dan amal. Belum pernah ada surat di dalam Al-Qur’an dimana Allah bersumpah begitu banyak, sampai 11 kali, kecuali untuk pensucian jiwa “sungguh beruntung mereka yang mensucikan jiwanya” yang tercantum pada surat as-Syams.
Sering kita mendengar istilah 'warisan pengasuhan masa lalu' dalam dunia psikolog sering disebut Inner Child. Kadang sehebat apapun ilmu parenting atau psikologi yang kita pahami, tetap saja di tataran praktis yang kita pakai adalah apa yang pernah kita alami ketika kecil.
Orangtua tahu membentak dan menjewer itu buruk, namun ketika kekesalan memuncak maka hilang semua pemahaman, yang ada lagi lagi membentak dan menjewer.
Ada terapinya untuk ini, *namun sebaiknya kita menggunakan jalur alamiah dan syar’i yaitu Tazkiyatunnafs, atau pensucian jiwa.* Ini perlu waktu, perlu momen, perlu keberanian utk keluar dari zona nyaman dan instan.
Al-Quran juga mengingatkan bahwa sebelum ta’lim maka penting untuk tazkiyah lebih dulu. Dalam prakteknya dapat dilakukan secara paralel, karena begitu orangtua berniat sungguh-sungguh mendidk anak sesuai fitrahnya, maka sesungguhnya tanpa sadar mengembalikan fitrah kita atau sedang tazkiyatun nafs.
Dalam buku Tarbiyah Ruhiyah, pensucian jiwa itu bisa dilakukan dengan 5 M. Pertama, *mu’ahadah*, yakni mengingat-ingat kembali perjanjian kita kepada Allah. Baik syahadah, maksud penciptaan, misi pernikahan, doa-doa ketika ingin dikaruniai anak, menyadari potensi-potensi fitrah.
Kedua, *muroqobah*, yakni mendekat kepada Allah agar diberikan qoulan sadida, yaitu ucapan dan tutur yang indah berkesan mendalam, idea dan gagasan yang bernas dalam mendidik, sikap dan tindakan yang pantas diteladani.
Ketiga, orangtua perlu untuk melakukan *muhasabah*, yakni mengevaluasi terus menerus agar semakin sempurna dan sejalan dengan fitrah dan kitabullah, bukan obsesi nafsu dan orientasi materialisme.
Adapun yang keempat, *mu’aqobah*, yakni menghukum diri jika tidak konsisten dengan hukuman yang membuat semakin bersemangat dan juga semakin konsisten untuk tidak melalaikan amanah.
Terakhir, *bermujahadah,* yakni bersungguh-sungguh menempuh jalan fitrah dengan konsisten, membuat perencanaan dan ukuran-ukurannya.
------------------------------------------------
Menurut Ustadz Harry Santosa, Tazkiyatun nafs merupakan bahasa al-Quran untuk melakukan terapi secara alamiah dan fitriyah apa-apa yang menyebabkan diri berperilaku buruk.
Tiada cara yang baik dan mengakar kecuali memperbaiki jiwa sebelum memperbaiki fikiran dan amal. Belum pernah ada surat di dalam Al-Qur’an dimana Allah bersumpah begitu banyak, sampai 11 kali, kecuali untuk pensucian jiwa “sungguh beruntung mereka yang mensucikan jiwanya” yang tercantum pada surat as-Syams.
Sering kita mendengar istilah 'warisan pengasuhan masa lalu' dalam dunia psikolog sering disebut Inner Child. Kadang sehebat apapun ilmu parenting atau psikologi yang kita pahami, tetap saja di tataran praktis yang kita pakai adalah apa yang pernah kita alami ketika kecil.
Orangtua tahu membentak dan menjewer itu buruk, namun ketika kekesalan memuncak maka hilang semua pemahaman, yang ada lagi lagi membentak dan menjewer.
Ada terapinya untuk ini, *namun sebaiknya kita menggunakan jalur alamiah dan syar’i yaitu Tazkiyatunnafs, atau pensucian jiwa.* Ini perlu waktu, perlu momen, perlu keberanian utk keluar dari zona nyaman dan instan.
Al-Quran juga mengingatkan bahwa sebelum ta’lim maka penting untuk tazkiyah lebih dulu. Dalam prakteknya dapat dilakukan secara paralel, karena begitu orangtua berniat sungguh-sungguh mendidk anak sesuai fitrahnya, maka sesungguhnya tanpa sadar mengembalikan fitrah kita atau sedang tazkiyatun nafs.
Dalam buku Tarbiyah Ruhiyah, pensucian jiwa itu bisa dilakukan dengan 5 M. Pertama, *mu’ahadah*, yakni mengingat-ingat kembali perjanjian kita kepada Allah. Baik syahadah, maksud penciptaan, misi pernikahan, doa-doa ketika ingin dikaruniai anak, menyadari potensi-potensi fitrah.
Kedua, *muroqobah*, yakni mendekat kepada Allah agar diberikan qoulan sadida, yaitu ucapan dan tutur yang indah berkesan mendalam, idea dan gagasan yang bernas dalam mendidik, sikap dan tindakan yang pantas diteladani.
Ketiga, orangtua perlu untuk melakukan *muhasabah*, yakni mengevaluasi terus menerus agar semakin sempurna dan sejalan dengan fitrah dan kitabullah, bukan obsesi nafsu dan orientasi materialisme.
Adapun yang keempat, *mu’aqobah*, yakni menghukum diri jika tidak konsisten dengan hukuman yang membuat semakin bersemangat dan juga semakin konsisten untuk tidak melalaikan amanah.
Terakhir, *bermujahadah,* yakni bersungguh-sungguh menempuh jalan fitrah dengan konsisten, membuat perencanaan dan ukuran-ukurannya.
------------------------------------------------